Menyalakan Obor Perubahan, Pemuda Menolak Jadi Penonton
Ada semangat yang tak terlihat, tapi bisa dirasakan. Sebuah energi kolektif yang perlahan menyala, lalu siap meledak menjadi gerakan sosial dan pembangunan yang digerakkan oleh pemuda. Di ruang itu, muncul dua sosok muda yang menjadi simbol harapan baru: M. Rosul, yang terpilih sebagai Ketua, dan M. Ali Reza yang dipercaya menjadi Sekretaris. Keduanya hadir bukan sekadar membawa nama, tetapi juga tekad generasi yang menolak diam.
“Saya percaya, perubahan besar berawal dari langkah kecil yang konsisten,”
ujar Rosul dalam sambutan awalnya, suaranya tenang tapi tegas, seperti ingin berbicara kepada semua pemuda yang pernah merasa tersisih dari proses pembangunan.
Acara ini juga menjadi momen penting lainnya: pembuka kegiatan reses anggota DPRD. Sebuah bukti bahwa posisi Karang Taruna kini bukan hanya sebagai organisasi sosial kepemudaan, tetapi mitra strategis pemerintah.
Camat Bangil, Fathurrahman, S.E., yang hadir membuka acara, menyampaikan bahwa Karang Taruna kini berdiri sejajar dengan perangkat pembangunan lainnya.
"Karang Taruna bukan hanya pelengkap dalam sistem sosial kita. Ia adalah mitra pemerintah dalam menyampaikan dan menyerap aspirasi rakyat, khususnya dari generasi muda,” tegasnya penuh keyakinan.
Namun perhatian peserta tersedot penuh saat Mas Febri Irawan Darwis, narasumber utama, mulai berbicara. Tanpa teks, tanpa podium tinggi. Hanya suara jujur yang menyentuh langsung ke dada para pendengar.
“Jangan jadi penonton di rumah sendiri, pemuda harus mengambil peran,” tegasnya
Febri juga menyoroti pentingnya digitalisasi Karang Taruna. Menurutnya, e-Katalog UMKM, penguatan wirausaha muda, hingga gagasan besar Pasuruan Cerdas harus dijalankan secara kolaboratif dan konsisten. Semua itu bukan sekadar proyek, melainkan visi kolektif yang memerlukan kekompakan dan keberanian.
Diskusi berkembang ke isu konkret seperti Car Free Day (CFD) yang ternyata menjadi ruang tumbuhnya UMKM lokal. Camat Bangil menyebut CFD sebagai panggung terbuka untuk pemuda.
“Tinggal mau ambil peran atau tidak,” katanya menantang.
Acara ditutup dengan forum tanya jawab terbuka, yang memperlihatkan bahwa pemuda di desa dan kelurahan Bangil memiliki gagasan, meski kerap dibenturkan oleh tantangan: fasilitas yang kurang, pelatihan yang minim, hingga anggaran yang terbatas.
Namun ada satu hal yang menyatukan semua suara: kemauan untuk bergerak. Dan itu lebih penting daripada seribu program tanpa niat.
Rosul, di penghujung acara, kembali menegaskan arah geraknya. “Kita tidak akan bergantung pada anggaran desa semata. Kita akan menciptakan ruang, membangun jejaring, dan menyusun langkah. Asal kita kompak dan sabar dalam prosesnya, saya yakin kita pasti bisa,” ucapnya optimis.
Forum itu mungkin ditutup dengan dokumentasi dan pembacaan kesimpulan. Tapi bagi mereka yang hadir, ini lebih dari sekadar acara formal. Ini adalah titik balik, di mana Karang Taruna Kecamatan Bangil mulai menjelma menjadi laboratorium gagasan, ruang belajar kolektif, dan wadah perubahan sosial.
Di tengah tantangan zaman dan derasnya arus digitalisasi, pemuda Bangil memilih satu sikap: menyalakan lilin, bukan mengutuk gelap. Mereka percaya, masa depan tak harus ditunggu.
(Onyes)